Sabtu, 17 Juli 2010

DAMPAK KETUNARUNGUAN TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA ANAK TUNARUNGU

Oleh : Dra. Permanarian Somad, M.Pd.

I. Pengertian Dan Klasifikasi Ketunarunguan Berdasarkan Penyebabnya

Ketunarunguan adalah satu istilah umum yang menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi ketunarunguan terlepas dari penyebabnya dan usia kejadiannya.

Sejumlah variabel (derajat, jenis, penyebab dan usia kejadiannya) berkombinasi di dalam diri seorang tunarungu yang mengakibatkan dampak yang unik terhadap perkembangan personal, sosial, intelektual dan pendidikannya, yang pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi pilihan gaya hidupnya pada masa dewasanya (terutama lingkungan sosial dan pekerjaannya).

Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan kehilangan indera lainnya, ketunarunguan (terutama bila tidak disertai kecacatan lain) pada dasarnya merupakan permasalahan sosial dan semestinya tidak merupakan suatu ketidakmampuan/hambatan kecuali jika lingkungan sosial tempat tinggal individu itu membuatnya demikian.

Terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut penyebabnya:

1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.


2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.


3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.


Seorang anak dapat juga mengalami kombinasi bentuk-bentuk ketunarunguan tersebut.






II. Definisi dan Klasifikasi Berdasarkan Keberfungsian Pendengaran

Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:


1. Ketunarunguan ringan , yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa dia sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.


2. Ketunarunguan sedang , yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).


3. Ketunarunguan berat , yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.

4. Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin lagi baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual.


Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bell, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bell.

Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz.

III. Definisi Berdasarkan Kebutuhan Pendidikan dan Budaya

Banyak istilah di dalam bahasa Inggris yang dipergunakan untuk mengacu pada populasi individu yang menyandang ketunarunguan.

1. Kata "deaf" menurut definisi Individuals with Disabilities Education Act, (undang-undang pendidikan bagi individu penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 adalah ketunarunguan yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan individu dan demikian parah sehingga individu itu terganggu dalam kemampuanya untuk memproses informasi linguistik (komunikasi) melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa amplifikasi (alat bantu dengar).

2. Istilah "hard of hearing" berarti ketunarunguan, baik permanen maupun berfluktuasi, yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan seorang individu tetapi yang memungkinkannya mempunyai akses ke komunikasi verbal pada tingkat tertentu dengan ataupun tanpa amplifikasi (IDEA 1990).


3. Istilah "Deaf" yang ditulis dengan huruf D kapital mengacu pada individu penyandang ketunarunguan yang mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai anggota "budaya tunarungu" (Deaf Culture).
Individu-individu ini memandang dirinya sebagai satu populasi yang dipersatukan oleh kesamaan latar belakang budaya, kesamaan pengalaman, kesamaan riwayat keluarga (menikah dengan sesama tunarungu), dan kesamaan bahasa (yaitu American Sign Language (ASL).

4. Istilah "hearing impaired" kini sering dipergunakan untuk mengacu pada mereka yang "deaf" maupun yang "hard of hearing".


Istilah "deaf mute" dan "deaf and dumb" (tuli bisu) kini tidak dipergunakan lagi. Istilah tersebut tidak hanya dianggap kuno, tetapi juga dipandang ofensif.


Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982).

Usia terjadinya ketunarunguan
Usia terjadinya ketunarunguan, sangat berpengaruh terhadap perolehan bahasa lisan.
Ketunarunguan Pra- bahasa
Ketunarunguan pra-bahasa adalah ketunarunguan that is sustained prior to the acquisition of language, which can occur as a result of a congenital condition or through hearing loss in early infancy. Prelingual deafness impairs an individual's ability to acquire a spoken language, but children born into signing families rarely have delays in language development. Most pre-lingual hearing impairment is acquired via either disease or trauma rather than genetically inherited, so families with deaf children nearly always lack previous experience with sign language.
[edit] Post-lingual deafness
Main article: Post-lingual deafness
Post-lingual deafness is hearing impairment that is sustained after the acquisition of language, which can occur as a result of disease, trauma, or as a side-effect of a medicine. Typically, hearing loss is gradual and often detected by family and friends of affected individuals long before the patients themselves will acknowledge the disability. Common treatments include hearing aids and learning lip reading.
Post-lingual deafness is far more common than pre-lingual deafness.
[edit] Unilateral and bilateral hearing impairment
People with unilateral hearing impairment (single sided deafness/SSD) have an impairment in only one ear. This can impair a person's ability to localize sounds (e.g., determining where traffic is coming from) and distinguish sounds from background noise in noisy environments.
A similar effect can result from King-Kopetzky syndrome (also known as Auditory disability with normal hearing and obscure auditory dysfunction), which is characterized by an inability to process out background noise in noisy environments despite normal performance on traditional hearing tests. See also: "cocktail party effect," House Ear Institute's Hearing In Noise Test.


Dampak ketunarunguan


Di antara dampak utama ketunarunguan pada perkembangan anak adalah dalam bidang bahasa dan ujaran (speech). Kita perlu membedakan antara bahasa (sistem utama yang kita pergunakan untuk berkomunikasi) dan ujaran (bentuk komunikasi yang paling sering dipergunakan oleh orang yang dapat mendengar). Besar atau kecilnya hambatan perkembangan bahasa dan ujaran anak tunarungu tergantung pada jenis dan tingkat kehilangan pendengarannya.
Hambatan tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam belajar di sekolah dan dalam berkomunikasi dengan orang yang dapat mendengar/berbicara sehingga berdampak pada perkembangan sosial dan keragaman pengalamannya.
Ini karena sebagian besar perkembangan sosial masyarakat didasarkan atas komunikasi lisan, begitu pula perkembangan komunikasi itu sendiri, sehingga gangguan dalam gangguan pendengaran menjadi menimbulkan masalah.

A. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

Telah dikemukakan di atas bahwa dalam banyak hal dampak yang paling serius dari ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar didasarkan atas pembicaraan guru, membaca dan menulis. Seberapa besar masalah yang dihadapi dalam mengakses bahasa itu bervariasi dari individu ke individu. Ini tergantung pada parameter ketunarunguannya, lingkungan auditer, dan karakteristik pribadi masing-masing anak, tetapi ketunarunguan ringan pada umumnya menimbulkan lebih sedikit masalah daripada ketunarunguan berat.

1. Perkembangan Membaca

Banyak penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan membaca anak tunarungu berada beberapa tahun di bawah anak sebaya/sekelasnya dan bahwa bahasa tulisnya sering mengandung sintaksis yang tidak baku dan kosakata yang terbatas.
Terdapat bukti yang jelas bahwa berdasarkan tes prestasi membaca yang baku, skor anak-anak tunarungu secara kelompok berada di bawah norma anak-anak yang dapat mendengar, meskipun beberapa di antara mereka memperoleh skor normal untuk tingkat usia dan kelasnya.
Sejumlah penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Pusat Asesmen dan Studi Demografik di Gallaudet University di Washington DC. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gentile (1973), yang mengetes lebih dari 16.000 siswa tunarungu dengan Stanford Achievement Test. Dia menemukan bahwa pada usia enam tahun skornya adalah ekuivalen dengan kelas 1,6, naik terus secara perlahan hingga menjadi ekuivalen dengan kelas 4,4 pada usia 19 tahun; kenaikan hanya sebesar 2,8 kelas selama 13 tahun.
Temuan yang hampir sama dilaporkan di Inggris oleh Conrad (1979), yaitu bahwa mean usia baca anak-anak tunarungu tamatan pendidikan dasar adalah nine tahun 4 bulan, yang berkisar dari 10 tahun 4 bulan untuk tunarungu sedang hingga 8 tahun 3 bulan untuk tunarungu sangat berat.
Data dari Australia juga serupa. Ditemukan bahwa 66% dari sampel siswa tunarungu usia 11 tahun di negara-negara bagian Australia sebelah timur menunjukkan usia baca lebih dari 4 tahun di bawah usia kalendernya (Ashman & Elkins, 1994).
Di Selandia Baru, VandenBerg (1971) menemukan bahwa dari semua siswa SLB bagi tunarungu yang berusia hingga 14 tahun, tidak ada yang mencapai usia baca di atas 11 tahun.
Data di atas tampak menunjukkan bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan dalam membaca dan bahwa mereka semakin tertinggal oleh sebayanya yang dapat mendengar di kelas-kelas yang lebih tinggi di mana materi bacaan yang harus dibacanya semakin kompleks. Akan tetapi, Moores (1987) mengemukakan penjelasan lain untuk hasil penelitian tersebut. Sebagian besar penelitian itu dilakukan secara cross‑sectional, tidak mengikuti kemajuan siswa yang sama dan mengetesnya setiap tahun, sehingga mungkin bahwa tingkat kecacatan yang berbeda pada tahun yang berbeda akan mempengaruhi hasil tes itu, dan bahwa pemindahan siswa yang berkemampuan lebih tinggi ke sekolah reguler menyebabkan siswa ini tidak tercakup dalam survey sehingga hasil tes pada usia yang lebih tinggi skor rata-ratanya menurun.
Satu penelitian oleh Allen (1986) mengatasi persoalan ini dengan melihat data dari hasil Stanford Achievement Test terhadap populasi tunarungu (kategori Hearing‑Impaired) pada tahun 1974 dan 1983. Skor tersedia dari usia 8 hingga 18 tahun, dan dia menemukan bahwa dari tahun 1974 hingga 1983 skor membaca sampel tunarungu itu meningkat setiap tahun.
Walker dan Rickards (1992) di Victoria, Australia, juga telah memperoleh data yang menunjukkan bahwa anak tunarungu tertentu lebih baik hasilnya pada tes baku prestasi membaca daripada yang dilaporkan sebelumnya.
Terus meningkatnya skor tes membaca anak tunarungu ini mungkin disebabkan oleh metode pengajaran membaca yang lebih baik. Argumen ini didukung oleh Ewoldt (1981) yang menemukan bahwa proses yang dipergunakan oleh anak tunarungu dalam membaca sama dengan yang dipergunakan oleh anak yang dapat mendengar, dan bahwa bila membaca mereka ditelaah menggunakan teknik yang tepat, ternyata mereka dapat lebih banyak memahami apa yang dibacanya.

2. Bahasa tulis

• Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis (runtutan kata dalam kalimat) bahasa tertulis anak tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase contoh :
• ayam hitam saya
• ayam hitam
• ayam saya
• rumah besar itu
• rumah besar putih itu
• rumah besar di atas puncak gunung itu
yang sama secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk, dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12 tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana, tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks, kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi. Akan tetapi, belum ada laporan hasil penelitian tentang tingkat keterbacaan tulisan anak tunarungu, tetapi jika penyimpangan-penyimpangan dalam sintaksis diabaikan, bahasa tulis kebanyakan anak tunarungu dapat dimengerti dengan mudah, sehingga penggunaan bahasa tulisnya (yang sering mereka pergunakan untuk berinteraksi dengan orang yang dapat mendengar) biasanya dapat memungkinkan mereka berfungsi dengan cukup baik dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu juga diketahui bahwa terdapat sejumlah orang tunarungu, termasuk yang ketunarunguannya berat sekali, yang dapat mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis yang normal.

3. Ujaran (Speech)

Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak tunarungu pada berbagai tingkatan ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran individu tunarungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sama sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik.
Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers (1942), yang menganalisis ujaran 192 anak tunarungu berat dan berat sekali. Mereka menemukan bahwa kekurarngan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal ritme dan pemengalan frasa, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan tidak dapat menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan artikulasi vokal biasanya lebih sering daripada konsonan). Hudgins dan Numbers menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tunarungu itu lebih banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frasa daripada karena kesalahan artikulasi.

Terdapat tiga cara utama individu tunarungu mengakses bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa pendengaran yang fungsional), dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

a. Mengakses Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Hanya sekitar 50% bunyi ujaran bahasa Inggris dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "hilang" itu. Jadi orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).

b. Mengakses Bahasa Melalui Pendengaran

Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali oleh tunarungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

c. Mengakses Bahasa Melalui Isyarat Tangan

Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tunarungu menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode oral/aural.

B. Bahasa dan Kognisi

Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam perkembangan kognitif dan/atau perbedaan dalam struktur kognitif (berpikir) individu tunarungu; ini mungkin karena dampaknya terhadap perkembangan bahasa. Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak mampu bernalar. Pada zaman modern argumen ini mulai dengan munculnya gerakan pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I. Dalam tes kelompok yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya menemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an. Akan tetapi, kemudian disadari bahwa meskipun skor tes yang rendah itu dapat mencerminkan adanya defisit bahasa pada individu tunarungu dan akibatnya sering berkurang pula pengetahuannya tentang hal-hal yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya bila masalah bahasanya dapat diatasi. Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes verbalnya sekitar 60, yang mencerminkan defisit bahasa testee, tetapi skor rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik dalam mean-nya maupun distribusinya, bila subyek tunarungu itu tidak menyandang ketunaan lain. Akan tetapi, kini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987). Akibatnya, secara kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.
Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa bahasa. Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966). Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir secara normal, karena bila dia mengontrol pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar tugas kognitif, ditemukannya bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu. Jika perbedaan itu muncul, dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa. Furth dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif lainnya.

PERKEMBANGAN BAHASA ANAK PRA SEKOLAH

Oleh : Dra. Permanarian Somad, M.Pd.

Manusia berinteraksi satu dengan yang lain melalui komunikasi dalam bentuk bahasa. Komunikasi tersebut terjadi baik secara verbal maupun non verbal yaitu dengan tulisan, bacaan dan tanda atau simbol. Berbahasa itu sendiri merupakan proses kompleks yang tidak terjadi begitu saja. Manusia berkomunikasi lewat bahasa memerlukan proses yang berkembang dalam tahap-tahap usianya. Bagaimana manusia bisa menggunakan bahasa sebagai cara berkomunikasi selalu menjadi pertanyaan yang menarik untuk dibahas sehingga memunculkan banyak teori tentang pemerolehan bahasa.. Lebih rumit dan luas mengingat ada lebih dari seribu bahasa yang ada di seluruh dunia.

Bahasa adalah bentuk aturan atau sistem lambang yang digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal. Selain itu bahasa dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural atau pantomime, gambar, simbol. Gestikulasi adalah ekspresi gerakan tangan dan lengan untuk menekankan makna bicara. Pantomim adalah sebuah cara komunikasi yang mengubah komunikasi verbal dengan aksi yang mencakup beberapa gestural (ekspresi gerakan yang menggunakan setiap bagian tubuh) dengan makna yang berbeda beda, simbol yang dapat melambangkan makna, gambar .
Lundsteen membagi perkembangan bahasa dalam 3 tahap :
1. Tahap pralinguistik
- 0-3 bulan, bunyinya di dalam dan berasal dari tenggorok.
- 3-12 bulan, banyak memakai bibir dan langit-langit, misalnya ma, da, ba.

2. Tahap protolinguitik
- 12 bulan-2 tahun, anak sudah mengerti dan menunjukkan alat-alat tubuh. Ia mulai berbicara beberapa patah kata (kosa katanya dapat mencapai 200-300).
3. Tahap linguistik
- 2-6 tahun atau lebih, pada tahap ini ia mulai belajar tata bahasa dan perkembangan kosa katanya mencapai 3000 buah.

Tahap perkembangan bahasa di atas hampir sama dengan pembagian menurut Bzoch yang membagi perkembangan bahasa anak dari lahir sampai usia 3 tahun.

1. Perkembangan bahasa bayi sebagai komunikasi prelinguistik. 0-3 bulan. Periode lahir sampai akhir tahun pertama. Bayi baru lahir belum bisa menggabungkan elemen bahasa baik isi, bentuk dan pemakaian bahasa. Selain belum berkembangnya bentuk bahasa konvensional, kemampuan kognitif bayi juga belum berkembang. Komunikasi lebih bersifat reflektif daripada terencana. Periode ini disebut prelinguistik. Meskipun bayi belum mengerti dan belum bisa mengungkapkan bentuk bahasa konvensional, mereka mengamati dan memproduksi suara dengan cara yang unik. asesmen harus menentukan apakah bayi mengamati atau bereaksi terhadap suara. Bila tidak, ini merupakan indikasi untuk evaluasi fisik dan audiologi. Selanjutnya intervensi direncanakan untuk membangun lingkungan yang menyediakan banyak kesempatan untuk mengamati dan bereaksi terhadap suara.
2. Kata – kata pertama : transisi ke bahasa anak. 3-9 bulan. Salah satu perkembangan bahasa utama milestone adalah pengucapan kata-kata pertama yang terjadi pada akhir tahun pertama, berlanjut sampai satu setengah tahun saat pertumbuhan kosa kata berlangsung cepat, juga tanda dimulainya pembetukan kalimat awal. Berkembangnya kemampuan kognitif, adanya kontrol dan interpretasi emosional di periode ini akan memberi arti pada kata-kata pertama anak. Arti kata-kata pertama mereka dapat merujuk ke benda, orang, tempat, dan kejadian-kejadian di seputar lingkungan awal anak.
3. Perkembangan kosa kata yang cepat. Pembentukan kalimat awal 9-18 bulan. Bentuk kata-kata pertama menjadi banyak, dan dimulainya produksi kalimat. Perkembangan komprehensif dan produksi kata-kata berlangsung cepat pada sekitar 18 bulan. Anak mulai bisa menggabungkan kata benda dengan kata kerja yang kemudian menghasilkan sintaks. Melalui interaksinya dengan orang dewasa, anak mulai belajar mengkonsolidasikan isi, bentuk dan pemakaian bahasa dalam percakapannya. Dengan semakin berkembangnya kognisi dan pengalaman afektif, anak mulai bisa berbicara memakai kata-kata yang tersimpan dalam memorinya. Terjadi pergeseran dari pemakaian kalimat satu kata menjadi bentuk kata benda dan kata kerja.
4. Dari percakapan bayi menjadi registrasi anak pra sekolah yang menyerupai orang dewasa, 18-36 bulan. Anak dengan mobilitas yang mulai meningkat memiliki akses ke jaringan sosial yang lebih luas dan perkembangan kognitif menjadi semakin dalam. Anak mulai berpikir konseptual, mengkategorikan benda, orang dan peristiwa serta dapat menyelesaikan masalah fisik anak terus mengembangkan pemakaian bentuk fonem dewasa




Perkembangan bahasa anak dapat dilihat juga dari pemerolehan bahasa menurut komponen-komponennya.

Perkembangan Pragmatik
Perkembangan komunikasi anak sesungguhnya sudah dimulai sejak dini, pertama-tama dari tangisannya bila bayi merasa tidak nyaman, misalnya karena lapar, popok basah. Dari sini bayi akan belajar bahwa ia akan mendapat perhatian ibunya atau orang lain saat ia menangis sehingga kemudian bayi akan menangis bila meminta orang dewasa melakukan sesuatu buatnya.
Usia 3 minggu bayi tersenyum saat ada rangsangan dari luar, misalnya wajah seseorang, tatapan mata, suara dan gelitikan. Ini disebut senyum sosial.
Usia 12 minggu mulai dengan pola dialog sederhana berupa suara balasan bila ibunya memberi tanggapan.
Usia 2 bulan bayi mulai menanggapi ajakan komunikasi ibunya. Usia 5 bulan bayi mulai meniru gerak gerik orang, mempelajari bentuk ekspresi wajah.
Pada usia 6 bulan bayi mulai tertarik dengan benda-benda sehinga komunikasi menjadi komunikasi ibu, bayi dan benda-benda.
Usia 7-12 bulan anak menunjuk sesuatu untuk menyatakan keinginannya. Gerak-gerik ini akan berkembang disertai dengan bunyi-bunyi tertentu yang mulai konsisten. Pada masa ini sampai sekitar 18 bulan, peran gerak-gerik lebih menonjol dengan penggunaan satu suku kata.
Usia 2 tahun anak kemudian memasuki tahap sintaksis dengan mampu merangkai kalimat 2 kata, bereaksi terhadap pasangan bicaranya dan masuk dalam dialog singkat. Anak mulai memperkenalkan atau merubah topik dan mulai belajar memelihara alur percakapan dan menangkap persepsi pendengar. Perilaku ibu yang fasilitatif akan membantu anaknya dalam memperkenalkan topik baru.
Lewat umur 3 tahun anak mulai berdialog lebih lama sampai beberapa kali giliran. Lewat umur ini, anak mulai mampu mempertahankan topik yang selanjutnya mulai membuat topik baru. Hampir 50 persen anak 5 tahun dapat mempertahankan topik melalui 12 kali giliran.
Sekitar 36 bulan, terjadi peningkatan dalam keaktifan berbicara dan anak memperoleh kesadaran sosial dalam percakapan. Ucapan yang ditujukan pada pasangan bicara menjadi jelas, tersusun baik dan teradaptasi baik untuk pendengar. Sebagian besar pasangan berkomunikasi anak adalah orang dewasa, biasanya orang tua. Saat anak mulai membangun jaringan sosial melibatkan orang di luar keluarga, mereka akan memodifikasi pemahaman diri dan bayangan diri dan menjadi lebih sadar akan standar sosial. Lingkungan linguistik memiliki pengaruh bermakna pada proses belajar berbahasa. Ibu memegang kontrol dalam membangun dan mempertahankan dialog yang benar. Ini berlangsung sepanjang usia pra sekolah.
Anak berada pada fase mono dialog, percakapan sendiri dengan kemauan untuk melibatkan orang lain. Monolog kaya akan lagu, suara, kata-kata tak bermakna, fantasi verbal dan ekspresi perasaan.

Perkembangan Semantik
Karena faktor lingkungan sangat berperan dalam perkembangan semantik, maka pada umur 6-9 bulan anak telah mengenal orang atau benda yang berada di sekitarnya. Leksikal dan pemerolehan konsep berkembang pesat pada masa pra sekolah. Terdapat indikasi bahwa anak dengan kosa kata lebih banyak akan lebih popular di kalangan teman-temannya. Diperkirakan terjadi penambahan 5 kata perhari di usia 1,5 sampai 6 tahun. Pemahaman kata bertambah tanpa pengajaran langsung orang dewasa. Terjadi strategi pemetaan yang cepat di usia ini sehingga anak dapat menghubungkan suatu kata dengan rujukannya. Pemetaan yang cepat adalah langkah awal dalam proses pemerolehan leksikal. Selanjutnya secara bertahap anak akan mengartikan lagi informasi-informasi baru yang diterima.
Definisi kata benda anak usia pra sekolah meliputi properti fisik seperti bentuk, ukuran dan warna, properti fungsi, properti pemakaian dan lokasi. Definisi kata kerja anak pra sekolah juga berbeda dari kata kerja orang dewasa atau anak yang lebih besar. Anak pra sekolah dapat menjelaskan siapa, apa, kapan, di mana, untuk apa, untuk siapa, dengan apa, tapi biasanya mereka belum memahami pertanyaan bagaimana dan mengapa atau menjelaskan proses.
Anak akan mengembangkan kosa katanya melalui cerita yang dibacakan orang tuanya. Begitu kosa kata berkembang, kebutuhan untuk mengorganisasikan kosa kata akan lebih meningkat, dan beberapa jaringan semantik atau antar relasi akan terbentuk.

Perkembangan Sintaksis
Susunan sintaksis paling awal terlihat pada usia kira-kira 18 bulan walaupun pada beberapa anak terlihat pada usia 1 tahun bahkan lebih dari 2 tahun. Awalnya berupa kalimat dua kata. Rangkaian dua kata, berbeda dengan masa “kalimat satu kata” sebelumnya yang disebut masa holofrastis. 30 Kalimat satu kata bisa ditafsirkn dengan mempertimbangkan konteks penggunaannya. Hanya mempertimbangkan arti kata semata-mata tidaklah mungkin kita menangkap makna dari kalimat satu kata tersebut.2,30
Peralihan dari kalimat satu kata menjadi kalimat yang merupakan rangkaian kata terjadi secara bertahap. Pada waktu kalimat pertama terbentuk yaitu penggabugan dua kata menjadi kalimat, rangkaian kata tersebut berada pada jalinan intonasi. Jika kalimat dua kata memberi makna lebih dari satu maka anak membedakannya dengan menggunakan pola intonasi yang berbeda
Perkembangan pemerolehan sintaksis meningkat pesat pada waktu anak menjalani usia 2 tahun, yang mencapai puncaknya pada akhir usia 2 tahun.

Tahap perkembangan sintaksis secara singkat terbagi dalam :
1. Masa pra-lingual, sampai usia 1 tahun
2. Kalimat satu kata, 1-1,5 tahun
3. Kalimat rangkaian kata, 1,5-2 tahun
4. Konstruksi sederhana dan kompleks, 3 tahun.

Lewat usia 3 tahun anak mulai menanyakan hal-hal yang abstrak dengan kata tanya “mengapa”,” kapan”. Pemakaian kalimat kompleks dimulai setelah anak menguasai kalimat empat kata sekitar 4 tahun.

Perkembangan Morfologi

Periode perkembangan ditandai dengan peningkatan panjang ucapan rata-rata, yang diukur dalam morfem. Panjang rata-rata ucapan, mean length of utterance (MLU) adalah alat prediksi kompleksitas bahasa pada anak yang berbahasa Inggris. MLU sangat erat berhubungan dengan usia dan merupakan prediktor yang baik untuk perkembangan bahasa.
Dari usia 18 bulan sampai 5 tahun MLU meningkat kira-kira 1,2 morfem per tahun. Penguasaan morfem mulai terjadi saat anak mulai merangkai kata sekitar usia 2 tahun. Beberapa sumber yang membahas tentang morfem dalam kaitannya dengan morfologi semuanya merupakan bahasa Inggris yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.

Perkembangan Fonologi
Perkembangan fonologi melalui proses yang panjang dari dekode bahasa. Sebagian besar konstruksi morfologi anak akan tergantung pada kemampuannya menerima dan memproduksi unit fonologi. Selama usia pra sekolah, anak tidak hanya menerima inventaris fonetik dan sistem fonologi tapi juga mengembangkan kemampuan menentukan bunyi mana yang dipakai untuk membedakan makna. 2

Pemerolehan fonologi berkaitan dengan proses konstruksi suku kata yang terdiri dari gabungan vokal dan konsonan. Bahkan dalam babbling, anak menggunakan konsonan-vokal (KV) atau konsonan-vokal-konsonan (KVK). Proses lainnya berkaitan dengan asimilasi dan substitusi sampai pada persepsi dan produksi suara.

Perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif
Myklebust membagi tahap perkembangan bahasa berdasarkan komponen ekspresif dan reseptif sebagai berikut 34:
1. Lahir – 9 bulan : anak mulai mendengar dan mengerti, kemudian berkembanglah pengertian konseptual yang sebagian besar nonverbal.
2. Sampai 12 bulan : anak berbahasa reseptif auditorik; belajar mengerti apa yang dikatakan, pada umur 9 bulan belajar meniru kata-kata spesifik, misalnya, dada, muh, kemudian menjadi mama, papa.
3. Sampai 7 tahun : anak berbahasa ekspresif auditorik termasuk persepsi auditorik kata-kata dan menirukan suara. Pada masa ini terjadi perkembangan bicara dan penguasaan pasif kosa kata sekitar 3000 buah.
4. Umur 6 tahun dan seterusnya : anak berbahasa reseptif visual (membaca). Pada saat masuk sekolah ia belajar membandingkan bentuk tulisan dan bunyi perkataan.
5. Umur 6 tahun dan seterusnya : anak berbahasa ekspresif visual (mengeja dan menulis).

KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA BAGI ANAK TUNARUNGU

Oleh : Dra. Permanarian Somad, M.Pd.

Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.

Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan "membaca" ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "tersembunyi" itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

3) Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.

Pendekatan Auditori verbal

Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).

Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
- Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
- Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
- Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
- Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
- Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
- Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
- Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.

Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup "reguler". Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).

Pendekatan Auditori Oral

Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
- Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
- Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.

Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.

Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.

Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi

Oleh : Dra. Permanarian Somad, M.Pd.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.

Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).

Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi.

Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.

1. Kegiatan Percakapan

Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).

Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.

Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya.

Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.

Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.
2. BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah Inklusi

Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.

Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem... brem... brem...’ benar begitu ?”. Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi
Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut :
* Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
* Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
* Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
* Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
* Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.

Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana BKPBI mencakup :
1. Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
2. Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
3. Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
4. Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.

Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. strong>BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara.

Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong>BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.

Dampak Ketunarunguan Terhadap Perkembangan Individu

Oleh : Dra. Permanarian Somad, M.Pd.


Di antara dampak utama ketunarunguan pada perkembangan anak adalah dalam bidang bahasa dan ujaran (speech). Kita perlu membedakan antara bahasa (sistem utama yang kita pergunakan untuk berkomunikasi) dan ujaran (bentuk komunikasi yang paling sering dipergunakan oleh orang yang dapat mendengar). Besar atau kecilnya hambatan perkembangan bahasa dan ujaran anak tunarungu tergantung pada karakteristik kehilangan pendengarannya. Hambatan tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam belajar di sekolah dan dalam berkomunikasi dengan orang yang dapat mendengar/berbicara sehingga berdampak pada perkembangan sosial dan keragaman pengalamannya. Ini karena sebagian besar perkembangan sosial masyarakat didasarkan atas komunikasi lisan, begitu pula perkembangan komunikasi itu sendiri, sehingga gangguan dalam proses ini (seperti terjadinya gangguan pendengaran), akan menimbulkan masalah.

A. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

Telah dikemukakan di atas bahwa dalam banyak hal dampak yang paling serius dari ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar didasarkan atas pembicaraan guru, membaca dan menulis. Seberapa besar masalah yang dihadapi dalam mengakses bahasa itu bervariasi dari individu ke individu. Ini tergantung pada parameter ketunarunguannya, lingkungan auditer, dan karakteristik pribadi masing-masing anak, tetapi ketunarunguan ringan pada umumnya menimbulkan lebih sedikit masalah daripada ketunarunguan berat.

1. Perkembangan Membaca

Banyak penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan membaca anak tunarungu berada beberapa tahun di bawah anak sebaya/sekelasnya dan bahwa bahasa tulisnya sering mengandung sintaksis yang tidak baku dan kosakata yang terbatas.
Terdapat bukti yang jelas bahwa berdasarkan tes prestasi membaca yang baku, skor anak-anak tunarungu secara kelompok berada di bawah norma anak-anak yang dapat mendengar, meskipun beberapa di antara mereka memperoleh skor normal untuk tingkat usia dan kelasnya.
Sejumlah penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Pusat Asesmen dan Studi Demografik di Gallaudet University di Washington DC. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gentile (1973), yang mengetes lebih dari 16.000 siswa tunarungu dengan Stanford Achievement Test. Dia menemukan bahwa pada usia enam tahun skornya adalah ekuivalen dengan kelas 1,6, naik terus secara perlahan hingga menjadi ekuivalen dengan kelas 4,4 pada usia 19 tahun; kenaikan hanya sebesar 2,8 kelas selama 13 tahun.
Temuan yang hampir sama dilaporkan di Inggris oleh Conrad (1979), yaitu bahwa mean usia baca anak-anak tunarungu tamatan pendidikan dasar adalah nine tahun 4 bulan, yang berkisar dari 10 tahun 4 bulan untuk tunarungu sedang hingga 8 tahun 3 bulan untuk tunarungu sangat berat.
Data dari Australia juga serupa. Ditemukan bahwa 66% dari sampel siswa tunarungu usia 11 tahun di negara-negara bagian Australia sebelah timur menunjukkan usia baca lebih dari 4 tahun di bawah usia kalendernya (Ashman & Elkins, 1994).
Di Selandia Baru, VandenBerg (1971) menemukan bahwa dari semua siswa SLB bagi tunarungu yang berusia hingga 14 tahun, tidak ada yang mencapai usia baca di atas 11 tahun.
Data di atas tampak menunjukkan bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan dalam membaca dan bahwa mereka semakin tertinggal oleh sebayanya yang dapat mendengar di kelas-kelas yang lebih tinggi di mana materi bacaan yang harus dibacanya semakin kompleks. Akan tetapi, Moores (1987) mengemukakan penjelasan lain untuk hasil penelitian tersebut. Sebagian besar penelitian itu dilakukan secara cross‑sectional, tidak mengikuti kemajuan siswa yang sama dan mengetesnya setiap tahun, sehingga mungkin bahwa tingkat kecacatan yang berbeda pada tahun yang berbeda akan mempengaruhi hasil tes itu, dan bahwa pemindahan siswa yang berkemampuan lebih tinggi ke sekolah reguler menyebabkan siswa ini tidak tercakup dalam survey sehingga hasil tes pada usia yang lebih tinggi skor rata-ratanya menurun.
Satu penelitian oleh Allen (1986) mengatasi persoalan ini dengan melihat data dari hasil Stanford Achievement Test terhadap populasi tunarungu (kategori Hearing‑Impaired) pada tahun 1974 dan 1983. Skor tersedia dari usia 8 hingga 18 tahun, dan dia menemukan bahwa dari tahun 1974 hingga 1983 skor membaca sampel tunarungu itu meningkat setiap tahun.
Walker dan Rickards (1992) di Victoria, Australia, juga telah memperoleh data yang menunjukkan bahwa anak tunarungu tertentu lebih baik hasilnya pada tes baku prestasi membaca daripada yang dilaporkan sebelumnya.
Terus meningkatnya skor tes membaca anak tunarungu ini mungkin disebabkan oleh metode pengajaran membaca yang lebih baik. Argumen ini didukung oleh Ewoldt (1981) yang menemukan bahwa proses yang dipergunakan oleh anak tunarungu dalam membaca sama dengan yang dipergunakan oleh anak yang dapat mendengar, dan bahwa bila membaca mereka ditelaah menggunakan teknik yang tepat, ternyata mereka dapat lebih banyak memahami apa yang dibacanya.

2. Bahasa tulis

Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis bahasa Inggris tertulis anak tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase yang sama secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk, dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12 tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana, tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks, kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi. Akan tetapi, belum ada laporan hasil penelitian tentang tingkat keterbacaan tulisan anak tunarungu, tetapi jika penyimpangan-penyimpangan dalam sintaksis diabaikan, bahasa tulis kebanyakan anak tunarungu dapat dimengerti dengan mudah, sehingga penggunaan bahasa tulisnya (yang sering mereka pergunakan untuk berinteraksi dengan orang yang dapat mendengar) biasanya dapat memungkinkan mereka berfungsi dengan cukup baik dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu juga diketahui bahwa terdapat sejumlah orang tunarungu, termasuk yang ketunarunguannya berat sekali, yang dapat mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis yang normal.

3. Ujaran (Speech)

Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak tunarungu pada berbagai tingkatan ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran individu tunarungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sama sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik.
Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers (1942), yang menganalisis ujaran 192 anak tunarungu berat dan berat sekali. Mereka menemukan bahwa kekurarngan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal ritme dan pemengalan frasa, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan tidak dapat menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan artikulasi vokal biasanya lebih sering daripada konsonan). Hudgins dan Numbers menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tunarungu itu lebih banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frasa daripada karena kesalahan artikulasi.

Terdapat tiga cara utama individu tunarungu mengakses bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa pendengaran yang fungsional), dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

a. Mengakses Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Hanya sekitar 50% bunyi ujaran bahasa Inggris dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "hilang" itu. Jadi orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).

b. Mengakses Bahasa Melalui Pendengaran

Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali oleh tunarungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

c. Mengakses Bahasa Melalui Isyarat Tangan

Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tunarungu menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode oral/aural.

B. Bahasa dan Kognisi

Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam perkembangan kognitif dan/atau perbedaan dalam struktur kognitif (berpikir) individu tunarungu; ini mungkin karena dampaknya terhadap perkembangan bahasa. Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak mampu bernalar. Pada zaman modern argumen ini mulai dengan munculnya gerakan pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I. Dalam tes kelompok yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya menemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an. Akan tetapi, kemudian disadari bahwa meskipun skor tes yang rendah itu dapat mencerminkan adanya defisit bahasa pada individu tunarungu dan akibatnya sering berkurang pula pengetahuannya tentang hal-hal yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya bila masalah bahasanya dapat diatasi. Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes verbalnya sekitar 60, yang mencerminkan defisit bahasa testee, tetapi skor rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik dalam mean-nya maupun distribusinya, bila subyek tunarungu itu tidak menyandang ketunaan lain. Akan tetapi, kini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987). Akibatnya, secara kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.
Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa bahasa. Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966). Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir secara normal, karena bila dia mengontrol pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar tugas kognitif, ditemukannya bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu. Jika perbedaan itu muncul, dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa. Furth dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif lainnya.

TEKNIK PEMAHAMAN ANAK LUAR BIASA SEBAGAI INDIVIDU

Oleh : Dra. Permanarian Somad, M.Pd.

Pengantar :
- Sudah memahami permasalahan-permasalahan alb: pribadi, sosial, karir,belajar, dsb.
- Sifanya beragam, kasuistik, dan perlu intervensi dari guru / konselor.
- Persoalannya, bagaimana caranya agar diperoleh pemahaman tersebut.

Asumsi:
1. Layanan BP dapat mencapai sasaran yang diharapkan, apabila didahului dengan pemahaman yang tepat, akurat, dan komprehensif terhadap klien.
Tepat dan akurat : sesuai dengan kondisi obyektif anak
Komprehensif : lengkap, menyeluruh, mencakup semua aspek secara
terinci, detail.
2. Untuk itu diperlukan data yang obyektif, akurat, dan komprehensif.
Obyektif : Menggambarkan keadaan yang sebenarnya
Akurat : tepat, RELEVAN sesuai yang dibutuhkan.
Komprehensif : Menyeluruh, mencakup data tentang diri klien dan lingkungannya. Utamanya mencakup karakteristik, permasalahan, dan kebutuhannya.
3. Untuk memperoleh data yang obyektif, akurat, dan komprehensif dapat dilakukan melalui berbagai cara/teknik.
4. Guru/konselor harus mampu memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang:
a. Jenis data (yang diperlukan dalam bimbingan)
b. Sumber data (dimana data tersebut dapat diperoleh)
c. Alat pengumpul data (dengan apa data dapat diperoleh)


1. become aware of the need for appraisal
2. identify the decisions and judgments that have to
be made
3. Spesify decisions
4. Spesify judgments
5. collect information
6. analyze and interpret the information
7. communicate the appraisal result
8. evaluate and provide feedback

8 tahap pemahaman individu
(Pietrofesa, 1980) 1. Menyadari kebutuhan akan penilaian
2. Mengidentifikasi pertimbangan dan
keputusan yang harus dibuat
3. Spesifikasi Keputusan
4. Spesifikasi Pertimbangan
5. Mengumpulkan informasi
6. meneliti dan menginterpretasikan informasi [
7. Mengkomunikasikan hasil penilaian
8. mengevaluasi dan menyediakan umpan balik




JENIS DATA
1. Data Pribadi
a. Data diri anak (Identitas anak): nama, dsb. Termasuk nama ot, alamat, dsb.
b. Data latar belakang keluarga dan lingkungan sosial (Identitas ot, keluarga, sosial ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua, dan keadaan lingkungan sekitar)
c. Data kesehatan dan perkembangan: keadaan panca indera, kondisi fisik, riwayat kelahiran, penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarbiasaan.
d. Data kemampuan dasar : kemampuan intelektual/kecerdasasan, sosial,
e. Data kemampuan khusus: kecakapan/keterapilan tertentu yang dimiliki anak: bakat khusus, kemampuan motorik, persepsi, konsentrasi, ADL.
f. Riwayat pendidikan dan prestasi belajar
g. Data kepribadian : penyesuaian diri, sikap, minat, kebiasaan, kematangan emosi, sosial.
h. Data kegiatan di luar sekolah
i. Hal-hal khusus : yang menonjol, (kekurangan dan kelebihan)
j. Permasalahan yang dihadapi anak
k. Kebutuhan khusus anak
2. Data lingkungan
Data tentang lingkungan anak: orang tua, keluarga, teman-teman, masyarakatnya, serta kemungkinan/peluang-peluang di lingkungan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pengembangan anak.

Ada juga yang membagi tentang data primer (utama/pokok, harus ada) dan sekunder (tambahan).

SUMBER DATA
Hakekatnya yang paling tahu tentang dirinya adalah individu itu sendiri, namun karena keterbatasan usia, pemahaman, kesadaran, dsb. Pihak lain dapat dijadikan sumber data atau sumber informasi.

Jenis-jenis sumber data:
1, Primer : individu itu sendiri
2. Sekunder : orang yang dekat dengan klien/ siswa dan bertanggung jawab langsung terhadap perkembangan klien. (orang tua, guru, wali kelas, kepsek)
3. Tersier : Orang yang dekat dengan klien tetapi tidak bertanggung jawab langsung
(anggota keluarga, teman sepermainan, saudara dekat)
4. Kuarter : orang yang agak jauh dengan siswa/klien tetapi memiliki informasi tentang klien (tetangga, TU, kepolisian, organisasi, dokter, perawat, dsb).


ALAT PENGUMPUL DATA:

1. TES
Tes adalah serangkaian pertanyaan atau tugas yang harus dijawab atas dasar pengetahuan, kemampuan, sikap atau keterampilan sehingga kualifikasi seseorang dapat ditentukan.

Sayarat tes yang baik: - valid (ketepatan), reliable (ketetapan), terstandardisasikan, obyektif, diskriminatif, komprehensif, mudah digunakan.

Biasa digunakan untuk seleksi, klasifikasi, dan promosi.

Penggolongan tes:
a. banyaknya testee: tes individual & kelompok
b. cara menyelesaikan: verbal & non verbal
c. cara menilai : alternative & gradual
d. Fungsi psikis yang dijadikan sasaran: perhatian, fantasi, ingatan, kemauan, inteligensi, bakat, minat, dsb.
e. Tipe tes yang erhubungan dengan isi dan waktu yang disediakan: speed tes dan power tes
f. Mutasi tes berhubungan dengan teorinya: proyektif & non proyektif
g. Bentuk: benar salah (obyektif) , pilihan ganda (multiple choise), isian (fill in test), mencari pasangan (matcing test), penyempurnaan/melengkapi (completion), mengatur/menyusun obyek (arrangement), deret angka (digit span), rancangan balok (blok design), asosiasi (association)
h. Nama penciptanya: - Binet Simon, Rorschach, kraeplin, weschler, dsb.
i. Aspek yang diukur: - tes inteligensi umum (general intelligence test),
- tes bakat khusus : specific ability test)
- tes kepribadian (personality test)
- tes prestasi (Scholastic test; achievement test)

Beberapa tes yang dapat digunakan untuk memahami anak luar biasa:

1. Tes Inteligensi / kecerdasan
WISC - R : Wechsler Intelligence Scale for Children - Revised) ... ada vocabulary + mazes,
WAIS – R : Wechsler Adult Intelligence Scale – Revised)
WPPSI : Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence
IST : Intelligence Structure Test
CPM : Colour Progresive Matrices .......free culture
APM : Adult sda
SPM : Standart sda
PMC : Progressive Matrices for Children

2. Tes bakat ...... aptitude test: kesenian, musik, olahraga, mekanik
DAT : Differential Aptitude Test, TMC

3. Tes kepribadian :
Tes Wartegg, Rorschah, Draw man, Baum, HTP, Bender Gestalt test, AUM (Alat Ungkap Masalah), EPPS (Edward Personality Prefernec Schedules)
4. Tes prestasi belajar:
Bisa dengan tes buatan guru, tapi sebaiknya diuji caoba dulu untuk diketahui
validitas dan reliabilitasnya.

5. Tes kematangan sosial :
VSMT : Vineland Sosial Maturity test – untuk mengetahui kematangan sosial /social behavior anak dalam hubbungannya dengan lingkungan, hasilnya SQ (social qouitent), mencakup: General self help, self help dresing, self help eating, locomotion, occupation , communication, dan self direction.

6. Tes Tes tanggapan
Untuk menentukan apakah anak termasuk tipe visual, auditif atau motorik.

7. Tes fantasi
Mengukur imajinasi
a. Test Binet : sajikan gambar tidak lengkap, cari kesalahan atau kekurangannya.
b. Test Masselon: membuat kalimat sebanyak-banyaknya, dengan tiga kata kunci
c. Test Hindustani: mencocokkan kata yang sama artinya, aslinya bhs Hindustan dan belanda.
d. Tes kemudtahilan: kalimat-kalimat mustahil disajikan, lihat reaksinya.




8. Tes perhatian
a. Tes Burdon: kata, gambar, atau angka yang ditentukan oleh tester disuruh dicari anak, beri tanda: nilai berdasar waktu, banyak salah, jumlah yang dikerjakan.
b. Test Grunbaum: cari angka-angka yang besar, tetapi yang diucapkan pasangannya.

9. tes artikulasi
kemampuan mengucapkan bunyi kata. Tiga kesalahan utama: subtitusi (penggantian), distorsi (dikacaukan), dan omisi (tak mampu membunyikan huruf atau menghilangkan huruf.

10. tes buta warna
a. Tes holmgren : mengumpulkan benang warna warni.
b. Tes stilling dan lahihara : buku warna ada huruf/angkanya.

11. tes ketajaman penglihatan
a. Tes lantang pandang
b. Snellen chart
12. tes pendengaran
a. uang logam
b. bisikan, pada jarak 20 feet/6 meter bisikin
c. tes detik jam
d. tes garpu tala
e. audiometer
----------------------------------------
13. Tes kreativitas
14. Tes kematangan emosi , kecerdasan emosi, dsb.


2. NON TES
1. Observasi : partisipatif, non partisipatif, atau kuasi partisipatif (pura-pura partisipasi padahal tujuannya observasi). Alat yang diperlukan: (a) catatan anekdot, (b) catatan berkala (setiap pagi, setiap senin, setiap mau masuk kelas, dsb), (c) daftar cek: (d) rating scale/skala penilaian : dengan angka/uraian – tinggal melingkan, atau dalam bentuk table: sering, kadang-kadang, selalu. (e) alat Bantu mekanik: CCTV, Video.
2. Kuesioner (angket) : daftar pertanyaan atau pernyataan, harus dijawab oleh responden secara tertulis. Bisa terbuka, tertutup, atau gabungan.
3. Wwancara : terstruktur dan non terstruktur.
4. Sosiometri ; klik, star, dsb.
5. Riwayat hidup: suruh mengarang


Studi kasus
Cara memahami indoividu secara komprehensif dan integrative, melalui penelitian yang mendalam terhadap kasus dan dalam jangka waktu lama.

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF (Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa)

Oleh : Drs. Sunaryo, M.Pd.

A. PENDAHULUAN
Sampai saat ini belum ada angka pasti tentang jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia. Namun, yang pasti jumlah mereka yang belum memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Data resmi Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah ABK yang sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Directorat PSLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% ABK yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikan. Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya angka prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih buruknya sistem pendataan.
Kondisi di atas tentu sangat memprihatinkan, mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak azazi manusia yang paling fundamental yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. UUD RI Tahun 1945 secara jelas dan tegas menjamin bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan, yang dipertegas dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maupun dalam Peraturan Mendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Disamping itu juga adanya jaminan dari berbagai instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000) dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004). Semua instrumen hukum tersebut ingin memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan.
Pendidikan inklusif merupakan sauatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus.
Dalam konteks pendidikan luar biasa di Indonesia, pendidikan inklusi bukanlah satu-satunya cara mendidik disabled children dengan maksud untuk mengantikan pendidikan segregasi. Melainkan, suatu alternative, pilihan, inovasi, atau terobosan/pendekatan baru disamping pendidikan segregasi yang sudah berjalan lebih dari satu abad. Hal ini dikarenakan setting pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa di Indonesia menganut pendekatan “Multi-track Approach”. Hanya saja eksistensi Sekolah Luar Biasa yang seharusnya mampu berperan sebagai Pusat Sumber dalam mendukung inklusi, belum diberdayakan secara maksimal.
Sekalipun secara formal pendiidkan inklusi di Indonesia baru dilaksanakan dalam satu dasa warsa terakhir, namun diyakini bahwa secara alamiah pendidikan inklusi sudah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor filosofi, sosial, maupun budaya Indonesia yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi kebihinekaan atau keberagaman. Faktor-faktor ini tentu dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusi yang sekarang sedang digalakkan.
Patut disyukuri bahwa sejak digulirkannya pendidikan inklusi di Indonesia, sambutan dan apresiasi masyarakat sangat luar biasa, sehingga implementasinya tumbuh dan berkembang cepat di berbagai pelosok negeri. Tidak salah jika UNESCO menilai bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi ABK, Indonesia pada tahun 2007 menduduki ranking ke 58 dari 130 negara. Sayangnya, karena berbagi faktor, terutama kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah, sehingga implementasinya belum menasional dan menyeluruh, sehingga ranking tersebut terus mengalami kemerosotan, pada tahun 2008 berada pada ranking ke 63 dan pada tahun 2009 berada pada ranking ke 71 (Kompas.com., 30 November 2009).
Dalam tataran operasional di sekolah, sekalipun sudah banyak sekolah yang mendeklarasikan sebagai sekolah inklusi, tetapi dalam implementasinya masih banyak yang belum sesuai dengan konsep-konsep yang mendasarinya. Bahkan, tidak jarang ditemukan adanya kesalahan-kesalahan praktek, terutama terkait dengan aspek pemahaman, kebijakan internal sekolah, serta kurikulum dan pembelajaran. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa dalam perjalanan menuju pendidikan inklusi (toward inclusive education), Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan dan permasalahan yang kompleks yang harus mendapatkan perhatian serius dan disikapi oleh berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah sehingga tidak menghambat hakekat penyelenggaraan pendidikan inklusi itu sendiri.
Berdasarkan hal di atas, naskah ini bermaksud untuk menelaah tentang konsep pendidikan inklusi, kebijakan, dan implementasinya di lapangan dalam perspektif pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa. Dalam tataran implementasi, pembahasan lebih difokuskan kepada isu dan permasalahan di tingkat sekolah dan alternatif solusinya sebagai masukan.

B. KERANGKA PIKIR
Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusi adalah mendidik anak yang berkebutuhan khusus akibat kecacatannya di kelas reguler bersama-sama dengan anak-anak lain yang non-cacat, dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, di sekolah yang ada di lingkungan rumahnya.
Secara mendasar konsep dan praktek penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi ABK di berbagai belahan dunia saat ini mengacu kepada dokumen internasional Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi pada Pendidikan Kebutuhan Khusus (1994). Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa:
1. Prinsip dasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya. Seyogyanya terdapat dukungan dan pelayanan yang berkesinambungan sesuai dengan sinambungnya kebutuhan khusus yang dijumpai di tiap sekolah.
2. Di dalam sekolah inklusif, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusif merupakan alat yang paling efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan khusus dengan teman-teman sebayanya. Pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah reguler seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu.
Dalam dokumen di atas juga dikemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalam dokumen-dokumen internasional sebelumnya. Beberapa konsep inti Inklusi yang tercantum dalam Pernyataan Salamanca itu meliputi:
1. Anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya.
2. Perbedaan itu normal adanya dan oleh karenanya pembelajaran itu harus disesuaikan dengan kebutuhan anak.
3. Sekolah perlu mengakomodasi semua anak.
4. Anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
5. Partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi.
6. Pengajaran yang terpusat pada diri anak merupakan inti dari inklusi.
7. Kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak, bukan kebalikannya.
8. Inklusi memerlukan sumber-sumber dan dukungan yang tepat.
9. Inklusi penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak azazi manusia secara penuh.
10. Sekolah inklusif memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif.
11. Inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.
12. Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua.
13. Sekolah inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.
Selanjutnya, dalam seminar Agra tahun 1998 telah dirumuskan bahwa esensi pendidikan inklusi hakekatnya: (1) lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan nonformal dan informal, (2) mengakui bahwa semua anak dapat belajar, (3) memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak, (4) mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak berdasar usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS, (5) merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya, dan (6) merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.
Alimin (2005) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan. Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif juga dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dalam merespon spekturm kebutuhan belajar peserta didik yang lebih luas, dengan maksud agar baik guru maupun siswa, keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah. Pendidikan inklusif juga akan terus berubah secara pelan-pelan sebagai refleksi dari apa yang terjadi dalam prakteknya, dalam kenyataan, dan bahkan harus terus berubah jika pendidikan inklusif ingin tetap memiliki respon yang bernilai nyata dalam mengahapi tantangan pendidikan dan hak azasi manusia.
Meskipun definsi tentang pendidikan inklusif itu bersifat progresif dan terus berubah, namun tetap diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya, karena banyak orang menganggap bahwa pendidikan inkludif sebagai versi lain dari pendidikan khusus/PLB (special esucation). Konsep yang mendasari pendidian inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendikan khusus (special education). Inklusi atau pendidikan inklusif bukanlah istilah lain dari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif mempunyai banyak kesamaan dengan konsep yang mendasari pendidikan untuk semua (education for all) dan konsep tentang perbaikan sekolah (schools improvement).
Definisi pendidikan inklusif yang diterima oleh banyak pihak adalah definisi yang diangkat dari seminar tentang pendidikan inklusif di Agra India tahun 1988. Dari hasil seminar itu pendidikan inklusif didefinisikan sebagai berikut:
• Lebih luas dari pada pendidikan formal, tetapi mencakup rumah, masyarakat, non-formal dan system informal
• Menghargai bahwa semua anak dapat belajar
• Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar semua anak
• Mengakui dan menghargai bahwa setiap anak memiliki perbedaan-perbedaan dalam usia, jenis kelamin, etnik, bahasa, kecacatan, status sosial ekonomi, potensi dan kemampuan
• Merupakan proses dinamis yang secara evolusi terus berkembang sejalan dengan konteks budaya
• Merupakan strategi untuk memajukan dan mewujudkan masyarakat inklusif.
Definisi di atas menggambarkan sebuah model pendidikan inklusif yang mendasarkan konsep-konsep tentang: anak, system pendidikan, keragaman dan disriminasi, proses memajukan inklusi, dan konsep tentang sumber daya. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Konsep tentang Anak
a. Hak semua anak untuk memperoleh pendidikan di dalam masyarakatnya sendiri
b. Semua anak dapat belajar dan anak dapat mengalami kesulitan dalam belajar
c. Semua anak membutuhkan dukungan dalam belajar
d. Pembelajar berpusat pada anak menguntungkan semua anak
2. Konsep tentang Sistem Pendidikan dan Sekolah
a. Pendidikan lebih luas dari pada pendidikan formal di sekolah (formal schooling)
b. Fleksibel, sistem pendidikan bersifat responsif
c. Lingkunngan pendidikan ramah terhadap anak
d. Perbaikan mutu sekolah dan sekolah yang efektif
e. Pendekatan yang menyeluruh dan kolaborasi dengan mitra kerja
3. Konsep tentang Keberagaman dan Diskriminasi
a. Menghilangkan diskriminasi dan pengucilan (exclusion)
b. Memandang keragaman sebagai sumber daya, bukan sebagai masalah
c. Pendidikan inklusif menyiapkan siswa yang dapat menghargai perbedaan-perbeaan.
4. Konsep tentang Proses Memajukan Inklusi
a. Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan dalam inklusi
b. Meningkatkan partisipasi nyata dari semua pihak
c. Kolaborasi dan kemitraan
d. Metodologi partisipatori, penelitian tindakan dan kolaboratif inkuiri
5. Konsep tentang Sumberdaya
a. Memanfaatkan sumber daya loakal yang tersedia (local resources)
b. Mendistribusikan sumber daya yang tersedia
c. Memandang manusia ( anak, orang tua, guru, kelompok orang yang termarginal kan dsb) sebagai sumberdaya kunci
d. Suberdaya yang tepat di sekolah dan masyarakat dibutuhkan untuk anak-anak yang berbeda. Sebagai contoh Braille, alat-alat bantuan (assistive divice)

Secara konseptual terdapat perbedaan dan kaitan yang erat antara pengertian sekolah inklusif, pendidikan inklusif dan masyakat inklusif. Pengertian dan kaitan diantara ketiganya menurut UNESCO (Alimin, 2005) dapat digambarkan sebagai berikut:



















Kaitan antara Sekolah Inklusif, Pendidikan Inklusif dan
Masyarakat Iklusif

Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai berikut:
Pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PSLB, 2004).
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, disebutkan bahwa:
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Sedangkaln dalam pasal 2 peraturan tersebut dijelaskan bahwa Pendidikan inklusif bertujuan:
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
Definisi di atas, menunjukkan bahwa sekalipun secara konseptual pendidikan inklusi mengikutkan semua anak berkebutuhan khusus, tetapi di negara kita lebih banyak dipahami atau ditekankan sebagai upaya mengikutkan anak berkelainan dalam setting sekolah regular. Definisi di atas juga relevan dengan pendapat Staub dan Peck (1995) bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular, serta pendapat Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya, ataupun Pernyataan Salamanca (1994) dan Kerangka Aksi Dakar (1997) paragraph 4 yang menyatakan bahwa Inclusive education seeks to address the learning needs of all children, youth and adults with a specific focus on those who are vulnerable to marginalisation and exclusion (Unesco, 2006).
Hal di atas dapat dipahami mengingat, di negara kita hal tersebut merupakan permasalahan yang paling sensitive, kontroversial, dan mendapat tantangan paling berat, sehingga mereka merupakan kelompok yang selama ini paling tereklusi dari pendidikan umum. Pendidikan inklusi telah merubah pikiran masyarakat dengan membuka akses pendidikan bagi disabled children untuk memperolah hak pendidikan di sekolah terdekat.
Ditinjau dari aspek implementasi, praksis pendidikan inklusi di banyak negara juga menunjukkan bahwa pendidikan inklusif tidak terhambat oleh banyaknya jumlah siswa dalam satu kelas, kurangnya sumber daya materi, maupun ekonomi. Bahkan hambatan sikap jauh lebih besar daripada hambatan ekonomi. Tenaga ahli pendukung tidak harus tenaga tetap sekolah yang bersangkutan. Pendidikan inklusif dapat memberikan kesempatan untuk peningkatan mutu sekolah, serta fakta bahwa pendidikan inklusif merupakan bagian dari pergerakan yang lebih besar menuju inklusi sosial.
Dalam perspektif pendidikan luar biasa, pendidikan inklusi akan berhasil dengan baik apabila didukung dengan: (1) sikap, komitmen, dan keyakinan yang positif dari seluruh guru, staf sekolah dan orang tua, (2) ketersediaan layanan khusus dan adaptasi lingkungan fisik dan peralatan, (3) sistem dukungan, seperti ketersediaan guru khusus, terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap siswa penyandang cacat, termasuk untuk asesmen dan evaluasi, (4) adanya kolaborasi harmonis antara guru khusus dan guru kelas dalam merancang dan menerapkan Program Pengajaran yang diindividualisasikan (individualized educational program - IEP), (5) kurikulum fleksibel dan metode pembelajaran yang tepat, serta (7) kesadaran, partisipasi, dan dukungan masyarakat.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, dalam praksis pendidikan inklusif, penerimaan siswa baru harus memprioritaskan penerimaan didasarkan pada lokasi terdekat pada sekolah, tidak membatasi pada jenis dan derajat kelaianan anak. Kurikulum harus disusun secara fleksibel sesuai kebutuhan anak (ABK) dan kondisi sekolah, dapat mendorong guru dan tenaga kependidikan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, mendorong pengawas untuk membina secara rutin dan kebebasan untuk berinovasi. Ditinjau dari proses pembelajaran: (1) perencanaan pembelajaran hendaknya dibuat berdasar hasil asesmen dan dibuat bersama antara guru kelas dan guru khusus dalam bentuk program pembelajaran individual (IEP, (2) pelaksanaanpembelajaran lebih mengutamakan metode pembelajaran kooperatif dan partisipatif, memberi kesempatan yang sama dengan siswa lain, menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara kolaborasi antara guru khusus dan guru kelas, serta dengan menggunakan media, sumber daya dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan ABK. Sedangkan dalam evaluasi: (1) perlu penyesuaian cara, waktu dan isi kurikulum, (2) mengacu kepada hasil asesmen, (3) mempertimbangkan penggunaan Penilaian Acuan Diri, (3) dilaksanakan secara fleksibel, multimetode dan berkelanjutan, (4) secara rutin mengkomunikasikan hasilnya kepada orang tua.
Dalam kaitan dengan guru, ia hendaklah mempunyai pandangan yang positif terhadap anak dan pendidikannya, sensitif dan proaktif terhadap kebutuhan ABK, peduli terhadap kemajuan belajarnya, kreatif, memiliki kompetensi yang cukup memadai, serta terbuka untuk diskusi, menerima masukan, dan berkolaborasi. Kolaborasi tersebut mulai dari pelaksanaan ases¬men, pembuatan perencanaan, pelaksana¬an, dan evaluasi pembelajaran yang disertai dengan pembagian peran, tugas, dan tanggungjawab dalam pembelajaran. Kolaborasi dalam mencari cara-cara efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta pengadaan media dan penciptaan lingkungan yang kondusif bagi ABK.
Dalam kaitan dengan sistem dukungan, terdapat beberapa peran orang tua, sekolah khusus (SLB) dan pemerintah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Orang tua dituntut dapat berpartisipasi aktif dalam pembuatan rencana pembelajaran, pengadaan alat, media, dan sumber daya yang dibutuhkan sekolah. Aktif berkomunikasi dan berkonsultasi tentang permasalahan dan kemajuan belajar anaknya, kolaborasi dalam mengatasi hambatan belajar anaknya, serta pengembangan potensi anak melalui program-program lain di luar sekolah.
2. SLB dituntut mampu berperan sebagai pusat sumber guna membantu melayani kebutuhan informasi dan konsultasi bagi sekolah, dalam memahami kebutuhan khusus ABK dan layanan pembelajaran, serta dalam pengadaan guru khusus, sosialisasi, dan pendampingan.
3. Pemerintah dituntut untuk membantu dalam merumuskan kebijakan-kebijakan internal sekolah, meningkatkan kualitas guru dan ktenaga kependidikan melalui berbagai pelatihan di bidang pendidikan inklusi, menyediaan guru khusus, memberikan subsidi berupa bantuan anggaran khusus dan dalam pengadaan media, alat, dan sarana khusus yang dibutuhkan sekolah, program pendampingan, monitoring dan evaluasi program, maupun dalam sosialisasi ke masyarakat luas.

C. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Pendidikan Inklusi di Indonesia
Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB (Tarsidi, 2007).
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimpllementasikan pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan telah bersekolah di sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA.
Selanjutnya untuk mendorong implementasi pendidikan inklusi secara lebih luas, pada tahun 2004 di Bandung diadakan lokakarya nasional yang menghasilkan Deklarasi Bandung, yang diantara isinya menghimbau kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, serta mendapatkan perlakuan yang manusiawi.
Guna terus mengembangkan pendidikan inklusi pemerintah juga telah mengambil berbagai strategi, baik melalui diseminasi ideologi pendidikan inklusif, mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber, penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru sekolah reguler, reorientasi pendidikan guru LPTK, desentralisasi dalam implementasi pendidikan inklusif, pembentukan kelompok kerja pendidikan inklusi, samapai pada pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus. Hasilnya pada kisaran tahun 2004-2007 muncul apresiasi dan antusiasme kuat di kalangan masyarakat untuk mengimplementasikannya. Misal, pada tahun 2005 cukup banyak sekolah regular yang mengajukan untuk menjadi sekolah inklusi, yakni 1200 sekolah, tetapi yang disetujui oleh pemerintah untuk dilaksanakan baru 504 sekolah, karena konsekuensinya pemerintah harus memberikan subsidi dan fasilitas lain penunjang proses pembelajaran (Sukadari, 2006). Meningkatnya implementasi pendidikan inklusi waktu itu, menjadikan Indonesia (menurut UNESCO) berada pada ranking ranking ke 58 dari 130 negara dalam implementasi pendidikan inklusi. Sayang ranking tersebut kemudian terus merosot dalam tahun-tahun berikutnya.
Selanjutnya, Sunardi (2009) menjelaskan bahwa trend perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia sejak tahun 2004 dapat ditabelkan sebagai berikut:

Table 1
Trend Pendidikan Inklusif Di Indonesia Berdasar Jumlah Sekolah dan Siswa
Tahun: 2004 - 2007

Tahun Jumlah sekolah Inklusif Jumlah Siswa
2004 467 2.573
2005 504 6.000
2006 600 9.492
2007 796 15.181
Tabel 2
Jumlah Siiswa Berkelainan yang Bersekolah di Sekolah Inklusif
Berdasar Jenis Kelainan Tahun 2007

Jenis Kelainan Jumlah Siswa
Tunanetra 345
Tunarungu 291
Tunagrahita 2277
Tunadaksa 266
Tunalaras 291
Autisme 230
Cacat ganda 45
Berkesulitan Belajar 11428
Lainnya 32
Total 15.181
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah inklusif di Indonesia (81,40%) adalah pada SD. Namun, bila dibandingkan dengan jumlah seluruh SD yang ada di Indonesia yaitu 144.567, maka jumlah seluruh SD inklusi di Indonesia sebenarnya baru mencapai 0,44%. Selanjutnya, dengan mengambil angka kasar jumlah penyandang cacat usia sekolah di Indonesia adalah 1,5 juta, maka jumlah anak berkelainan yang terlayani pendidikannya melalui sekolah inklusi sebenarnya baru mencapai 1 % dari seluruh populalsi yang ada. Namun dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, yang didalamnya menegaskan bahwa setiap Pemerintah kabupaten/kota untuk menunjuk paling sedikit 1 (satu) SD dan 1 (satu) SMP pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif, maka diyakini jumlah anak berkelainan dan jumlah sekolah penyelenggara inklusif di Indonesia akan semakin meningkat.

2. Dilema
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional di Indonesia, sampai saat ini implementasi pendidikan inklusi masih dihadapkan kepada berbagai dilema yang apabila tidak diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan khusus memungkinkan dapat menghalangi perlakuan adil dan akses anak berkelainan untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler terdekat sehingga menghambat keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi. Menurut Sunardi (2009), dilema tersebut meliputi:
a. Sistem Penerimaan Siswa Baru, khususnya di tingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
b. Diijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai criteria sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya.
c. Penggunaan label sekolah inklusi dan adanya PP. No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) tentang keharusan untuk memiliki tenaga kependidikan khusus bagi sekolah inklusi sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan munculnya gejala “eklusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusi.
d. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
e. Masih dipahaminya pendidikan inklusi secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke sekolah regular, tanpa upaya untuk mengakomodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. Pada hal makna inklusi adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
f. Munculnya label-label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyasrakat yang cenderung membentuk sikap eklusifisme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar Internasional (SBI), Sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi, serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak kepada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua (second class), karena menerima ABK sama dengan special school (Imam Subkhan, 2009)
g. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusi secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental (Cak Fu, 2005).

3. Isu dan Permasalahan yang dihadapi
Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di negara kita cukup menggembirakan dan mendapat apresiasi dan antusiasme dari berbagai kalangan, terutama para praktisi pendidikan, namun sejauh ini dalam tataran implementasinya di lapangan masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian Sunardi (2009) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten dan Kota Bandung, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak bias, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu : pemahaman dan implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support system. Salah satu bagian penting dari suppor system adalah tentang penyiapan anak. Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut:

a. Pemahaman inklusi dan implikasinya
1) Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right and kemudahan access education, and againt discrimination.
2) Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah.
3) Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.

b. Kebijakan sekolah
1) Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait.
2) Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
b. Proses pembelajaran
1) Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi.
2) Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
3) Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
4) Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak.
5) Belum adanya panduan yang jelas tentang system penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam.
6) Masih terdapat persepsi bahwa system penilaian hasil belajar ABK sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuna belajar yang berarti.

c. Kondisi guru
1) Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children.
2) Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
3) Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing guru.
4) Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai panduan, serta dukungan anggaran yang memadai.

d. Sistem dukungan
1) Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.
2) Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.
3) Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan geografik.
4) Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.
5) LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik.
6) Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan.
7) Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-guru dalam pelatihan atau memberikan bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan, namun jumlahnya masih sangat terbatas dan belum merata.
8) Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang diperlukan untuk mendukung aksesibilitas dan keberhasilan pembelajaran secara memadai.
Hasil-hasil penelitian tentang isu dan permasalahan pendidikan inklusi di atas, sejalan dengan hasil penelitian Juang Sunanto (2009) terhadap dua Sekolah Dasar inklusi di kota Bandung. Pertama, sekolah yang secara alami mengembangkan pendidikan inklusif, tanpa predikat inklusif, misinya kemanusiaan, dan kini memiliki 10 siswa with disabilities. Kedua, sekolah percontohan inklusif, ditunjuk resmi sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah, dan kini memiliki 32 siswa with disabilities. Hasilnya, dapat diringkas sebagai dibawah ini.
Pada sekolah yang secara alami mengembangkan pendidikan inklusif, beberapa kecenderungan yang terjadi di lapangan, diantaranya:
- Secara formal belum berpredikat sebagai sekolah inklusif, bahkan sampai sekarang belum tersentuh proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang pendidikan inklusi
- Para guru awalnya sempat khawatir akan menurunkan citra sekolah.
- Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak normal yang tidak naik kelas.
- Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru tantangan untuk menemukan metode baru (kreatif) melalui kebersamaan, saling diskusi, saling berbagai.
- Perubahan dan proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus menerus melalui kerja sama, saling memotivasi, saling membantu, saling mendukung, komunikasi, dan belajar dari pengalaman.
- Mengembangkan kerjasama antar guru dan meningkatkan jalinan komunikasi dengan orang tua.
- Sekalipun diakui menambah beban tambahan, namun diterima sebagai tantangan.
- Pembelajaran children with disabilities dilakukan secara tersendiri, dengan menciptakan suasana yang memungkinkan semuanya dapat belajar, serta penerapan pendekatan perhatian dan kasih sayang.

Sedangkan pada sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah percontohan inklusi, hal-hal menarik yang terjadi di sekolah ini, diantaranya :
- Awalnya berjalan alami, kemudian ditunjuk resmi sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah. Awalnya mendapat bantuan 1 orang guru pendamping atau guru khusus, tapi kemudian keluar. Akhirnya muncul inisiatif dari orang tua untuk membawa sendiri guru pendamping untuk anaknya dan fenomena ini terus berkembang sampai sekarang dan bahkan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi orang tua.
- Pembelajaran pada ABK yang awalnya diterima sebagai tantangan oleh guru kelas, kini bergeser kepada ketergantungan pada guru khusus atau guru pendamping. Kondisi ini menjadikan kreativitas guru tidak berkembang.
- Kebijakan menjadikan sebagai sekolah berpredikat inklusi dan banyaknya pelatihan yang diterima justru menjadikan semakin tidak jelas, bahkan bias. Penataran /pelatihan yang diterima belum banyak berdampak di kelas dan belum memberi solusi terhadap permasalahan pendidikan yang dihadapi.
- Motivasi, kerja sama dalam mengatasi masalah tidak tampak, sebab seluruh aktivitas belajar disabled children mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada guru pendamping.
- Inklusi dimaknai sekedar memasukkan ABK ke kelas regular, belajar dengan materi, guru, dan cara masing-masing. ABK belum ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas dan aktivitas di dalam kelas. Masih sebagai “tamu”, diterima secara pasif.
- Kebijakan sekolah menetapkan bahwa urusan children with disabilities adalah urusan guru pendamping, sepenuhnya menjadi wewenang guru pendamping. Pembuatan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasinya tidak dilakukan melalui kolaborasi dan kerja sama.
- Rencana pembelajaran untuk disabled children dibuat oleh guru khusus berdasar hasil asesmen dan dituangkan dalam format Program pengajaran individual, kemudian disatukan dengan rencana pembelajaran guru kelas.
- Guru pendamping yang notabene memiliki latar belakang pendidikan PLB belum memiliki keberanian untuk meluruskan sesuai konsepnya.
- Sekalipun sekolah melayani keberagaman siswa, termasuk ABK, namun sebenarnya sekolah tersebut telah tumbuh menjadi sekolah eklusif, karena memiliki syarat khusus, sehingga hakekatnya telah bias dan tumbuh menjadi sekolah inklusif yang keluar dari prinsip-prinsip inklusif.

Uraian di atas memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia, khususnya di Bandung masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan yang cukup kompleks dan sifatnya masih mendasar, terutama terkait dengan pemahaman inklusi itu sendiri dan implementasinya di lapangan, kebijakan pemerintah dan kepala sekolah, pembinaan professional guru, proses pembelajaran, system dukungan, maupun penyiapan siswa. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa sekolah yang secara resmi telah berpredikat sebagai sekolah inklusi, bahkan sekolah percontohan sekalipun, belum menjamin bahwa sekolah tersedut telah melaksanakan pendidikan inklusi secara benar dan baik sesuai dengan konsep-konsep pendidikan inklusi yang mendasarinya.
Dengan mempertimbangkan masih banyaknya isu dan permasalahan dalam pendidikan inklusi di Indonesia saat ini, maka penting bagi pemerintah untuk segera menindaklajutinya, diantaranya melalui kegiatan pengkajian (monitoring dan evaluasi) secara menyeluruh terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia dan hasilnya dijadikan rujukan untuk membuat langkah-langkah strategis menuju pendidikan inklusi, peninjauan kembali kebijakan di tingkat sekolah, perumusan model-model inklusi, penggiatan program pendampingan, pemberdayaan LPTK PLB sebagai pusat sumber dan dalam pendampingan, mengganti pola penataran – pelatihan guru dari model ceramah kepada model lesson study atau minimal memasukkan lesson study sebagai bagian inti dari penataran-pelatihan guru, pembuatan buku-buku pedoman, serta menggalakkan program sosialisasi dan desiminasi.


D. KESIMPULAN

Pendidikan inklusi yang menekankan kepada persamaan hak dan dan akses pendidikan kepada setiap warga negara, tanpa kecuali, hakekatnya adalah visi baru di bidang pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik yang menekankan kepada pilar demokrasi, HAM, otonomi, desentralisasi, dan akuntabilitas.
Dalam kontek pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif merupakan paradigma baru dalam pendidikan bagi penyandang cacat yang diilhami dan didorong oleh berbagai dokumen international, khususnya tentang pendidikan untuk semua serta Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai pendidikan berkebutuhan khusus tahun 1994.
Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia saat ini semakin diterima dan berkembang cukup pesat, namun dalam tataran implementasinya masih dihadapkan kepada berbgai problema, isu, dan permasalahan yang harus disikapi secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya dan proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri serta selaras dengan filosofi dan konsep-konsep yang mendasarinya. Untuk itu diperlukan komitmen tinggi dan kerja keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengatasinya. Dengan demikian, tujuan akhir dari semua upaya di atas yaitu kesejahteraan para penyandang cacat dalam memperoleh segala haknya sebagai warga negara dapat direalisasikan secara cepat dan maksimal.



DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Z. (2005). Memahami Pendidikan Inklusif dan Anak Berkebutuhan Khusus. Makalah tidak diterbitkan. Bandung: Jurusan PLB FIP UPI.
Convention on the Rights of the Child. United Nations General Assembly resolution 44/25, 20 November 1989
Mitchell, D. 2006. Special Education Needs and Inclusive Education: Major Themes in Education, New York : Publisher’s Note. http://books.google.co.jp/¬books?id=-b69gCu5Ywes¬C&pg=PA200&lpg=PA200&dq
NISE (2007). Final Report of the 27th Asia-Pacific International Seminar on Education for Individuals with Special Needs: Advancement of Education to Meet the Special Needs of Individuals toward Realization of Principle of Equity and Social Cohesion. 3-6 December 2007, Yokohama, Japan. http://www.nise.go.jp/kenshuka/josa/kankobutsu/pub_d/d-266.pdf
Smith, J. D. 1998. Inclusion: School for All Students. New York: Wadswarth Publishing Company.
Somad, P. and Z. Alimin. 2004. Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education dan Implikasinya ke Konsep Special Needs Education terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Jassi_anakku 3, no. 1: 15-21. Bandung: Jurusan PLB FIP UPI
Stubs, S. (2002). Inclusive Education Where There Are Few Resources. Oslo: The Atlas Alliance.
Sujarwanto. 2004. Inclusive Education in Indonesia: Lessons from Japanese Special Education Models. Tsukuba: CRICED University of Tsukuba
Sukadari. 2006. Peran Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkelainan. Jakarta: Madina. http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=812&I-temid=10
Sunanto, Juang. 2009. Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Bandung: Pusat Kajian dan Inovasi Pendidikan – Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Sunardi (2009). Issues and Problems on Implementation of Inclusive Education for Disable Children In Indonesia. Tsukuba: CRICED – University of Tsukuba.
Tarsidi, D. (2003). The implementation of Inclusive Education in Indonesia. Makalah disajikan pada The 8th International Congress on Including Children with Disabilities in the Community. Stavanger, Norway, 15-17 Juni 2003.
Tarsidi, Didi. 2004. Implementation of Inclusive Education in Indonesia, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/07/inclusive¬educa¬tion-indonesia.html
Taylor, G. R. 2006. Trends in Special Education Projections for the Next Decade. Ontario: The Edwin Mellen Press.
The Council for Exceptional Children (1993). Including Students with Disabilities in General Classrooms. ERIC EC Digest #E521. The ERIC Clearing House on Disabilities and Gifted Education.
The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education. Salamanca: UNESCO & Ministry Of Education And Science, Spain.
The World Declaration on Education For All (1990). Meeting Basic Learning Needs. Jomtien, Thailand: The World Bank, UNESCO, UNICEF & UNDP.
UNESCO (2000). Education For All: Meeting Our Collective Commitments, Text adopted by
the World Education Forum, Dakar, Senegal, 26-28 April 2000. http://www.unesco.org/education/efa/ed_for all/dakfram eng.shtml
_______. 2000. The Dakar Framework for Action Education for All: Meeting Our Collective Commitment, the World Education Forum. http://www.unesco.org/¬education¬/wef/en-conf/dakframeng.shtm
_______. 2008. Report Regional Preparatory Conference on “Inclusive Education: Major Policy Issues in the Asia Pacific Region", Bali, 29‐31 May 2008. http://www.ibe.unesco.org/fileadmin/userupload/COPs/News_documents¬/2008-/0805Bali/Bali_Report.pdf
_______. 2006. What is Inclusive Education?. http://www.unescobkk.org/education¬/-appeal/programme-themes/inclusive-education/what-is-ie/
United Nations. 1993. Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities. http://www.un.org¬/esa/socdev/enable/dissre00.htm