Sabtu, 17 Juli 2010

DAMPAK KETUNARUNGUAN TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA ANAK TUNARUNGU

Oleh : Dra. Permanarian Somad, M.Pd.

I. Pengertian Dan Klasifikasi Ketunarunguan Berdasarkan Penyebabnya

Ketunarunguan adalah satu istilah umum yang menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi ketunarunguan terlepas dari penyebabnya dan usia kejadiannya.

Sejumlah variabel (derajat, jenis, penyebab dan usia kejadiannya) berkombinasi di dalam diri seorang tunarungu yang mengakibatkan dampak yang unik terhadap perkembangan personal, sosial, intelektual dan pendidikannya, yang pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi pilihan gaya hidupnya pada masa dewasanya (terutama lingkungan sosial dan pekerjaannya).

Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan kehilangan indera lainnya, ketunarunguan (terutama bila tidak disertai kecacatan lain) pada dasarnya merupakan permasalahan sosial dan semestinya tidak merupakan suatu ketidakmampuan/hambatan kecuali jika lingkungan sosial tempat tinggal individu itu membuatnya demikian.

Terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut penyebabnya:

1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.


2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.


3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.


Seorang anak dapat juga mengalami kombinasi bentuk-bentuk ketunarunguan tersebut.






II. Definisi dan Klasifikasi Berdasarkan Keberfungsian Pendengaran

Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:


1. Ketunarunguan ringan , yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa dia sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.


2. Ketunarunguan sedang , yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).


3. Ketunarunguan berat , yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.

4. Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin lagi baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual.


Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bell, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bell.

Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz.

III. Definisi Berdasarkan Kebutuhan Pendidikan dan Budaya

Banyak istilah di dalam bahasa Inggris yang dipergunakan untuk mengacu pada populasi individu yang menyandang ketunarunguan.

1. Kata "deaf" menurut definisi Individuals with Disabilities Education Act, (undang-undang pendidikan bagi individu penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 adalah ketunarunguan yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan individu dan demikian parah sehingga individu itu terganggu dalam kemampuanya untuk memproses informasi linguistik (komunikasi) melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa amplifikasi (alat bantu dengar).

2. Istilah "hard of hearing" berarti ketunarunguan, baik permanen maupun berfluktuasi, yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan seorang individu tetapi yang memungkinkannya mempunyai akses ke komunikasi verbal pada tingkat tertentu dengan ataupun tanpa amplifikasi (IDEA 1990).


3. Istilah "Deaf" yang ditulis dengan huruf D kapital mengacu pada individu penyandang ketunarunguan yang mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai anggota "budaya tunarungu" (Deaf Culture).
Individu-individu ini memandang dirinya sebagai satu populasi yang dipersatukan oleh kesamaan latar belakang budaya, kesamaan pengalaman, kesamaan riwayat keluarga (menikah dengan sesama tunarungu), dan kesamaan bahasa (yaitu American Sign Language (ASL).

4. Istilah "hearing impaired" kini sering dipergunakan untuk mengacu pada mereka yang "deaf" maupun yang "hard of hearing".


Istilah "deaf mute" dan "deaf and dumb" (tuli bisu) kini tidak dipergunakan lagi. Istilah tersebut tidak hanya dianggap kuno, tetapi juga dipandang ofensif.


Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982).

Usia terjadinya ketunarunguan
Usia terjadinya ketunarunguan, sangat berpengaruh terhadap perolehan bahasa lisan.
Ketunarunguan Pra- bahasa
Ketunarunguan pra-bahasa adalah ketunarunguan that is sustained prior to the acquisition of language, which can occur as a result of a congenital condition or through hearing loss in early infancy. Prelingual deafness impairs an individual's ability to acquire a spoken language, but children born into signing families rarely have delays in language development. Most pre-lingual hearing impairment is acquired via either disease or trauma rather than genetically inherited, so families with deaf children nearly always lack previous experience with sign language.
[edit] Post-lingual deafness
Main article: Post-lingual deafness
Post-lingual deafness is hearing impairment that is sustained after the acquisition of language, which can occur as a result of disease, trauma, or as a side-effect of a medicine. Typically, hearing loss is gradual and often detected by family and friends of affected individuals long before the patients themselves will acknowledge the disability. Common treatments include hearing aids and learning lip reading.
Post-lingual deafness is far more common than pre-lingual deafness.
[edit] Unilateral and bilateral hearing impairment
People with unilateral hearing impairment (single sided deafness/SSD) have an impairment in only one ear. This can impair a person's ability to localize sounds (e.g., determining where traffic is coming from) and distinguish sounds from background noise in noisy environments.
A similar effect can result from King-Kopetzky syndrome (also known as Auditory disability with normal hearing and obscure auditory dysfunction), which is characterized by an inability to process out background noise in noisy environments despite normal performance on traditional hearing tests. See also: "cocktail party effect," House Ear Institute's Hearing In Noise Test.


Dampak ketunarunguan


Di antara dampak utama ketunarunguan pada perkembangan anak adalah dalam bidang bahasa dan ujaran (speech). Kita perlu membedakan antara bahasa (sistem utama yang kita pergunakan untuk berkomunikasi) dan ujaran (bentuk komunikasi yang paling sering dipergunakan oleh orang yang dapat mendengar). Besar atau kecilnya hambatan perkembangan bahasa dan ujaran anak tunarungu tergantung pada jenis dan tingkat kehilangan pendengarannya.
Hambatan tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam belajar di sekolah dan dalam berkomunikasi dengan orang yang dapat mendengar/berbicara sehingga berdampak pada perkembangan sosial dan keragaman pengalamannya.
Ini karena sebagian besar perkembangan sosial masyarakat didasarkan atas komunikasi lisan, begitu pula perkembangan komunikasi itu sendiri, sehingga gangguan dalam gangguan pendengaran menjadi menimbulkan masalah.

A. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

Telah dikemukakan di atas bahwa dalam banyak hal dampak yang paling serius dari ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar didasarkan atas pembicaraan guru, membaca dan menulis. Seberapa besar masalah yang dihadapi dalam mengakses bahasa itu bervariasi dari individu ke individu. Ini tergantung pada parameter ketunarunguannya, lingkungan auditer, dan karakteristik pribadi masing-masing anak, tetapi ketunarunguan ringan pada umumnya menimbulkan lebih sedikit masalah daripada ketunarunguan berat.

1. Perkembangan Membaca

Banyak penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan membaca anak tunarungu berada beberapa tahun di bawah anak sebaya/sekelasnya dan bahwa bahasa tulisnya sering mengandung sintaksis yang tidak baku dan kosakata yang terbatas.
Terdapat bukti yang jelas bahwa berdasarkan tes prestasi membaca yang baku, skor anak-anak tunarungu secara kelompok berada di bawah norma anak-anak yang dapat mendengar, meskipun beberapa di antara mereka memperoleh skor normal untuk tingkat usia dan kelasnya.
Sejumlah penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Pusat Asesmen dan Studi Demografik di Gallaudet University di Washington DC. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gentile (1973), yang mengetes lebih dari 16.000 siswa tunarungu dengan Stanford Achievement Test. Dia menemukan bahwa pada usia enam tahun skornya adalah ekuivalen dengan kelas 1,6, naik terus secara perlahan hingga menjadi ekuivalen dengan kelas 4,4 pada usia 19 tahun; kenaikan hanya sebesar 2,8 kelas selama 13 tahun.
Temuan yang hampir sama dilaporkan di Inggris oleh Conrad (1979), yaitu bahwa mean usia baca anak-anak tunarungu tamatan pendidikan dasar adalah nine tahun 4 bulan, yang berkisar dari 10 tahun 4 bulan untuk tunarungu sedang hingga 8 tahun 3 bulan untuk tunarungu sangat berat.
Data dari Australia juga serupa. Ditemukan bahwa 66% dari sampel siswa tunarungu usia 11 tahun di negara-negara bagian Australia sebelah timur menunjukkan usia baca lebih dari 4 tahun di bawah usia kalendernya (Ashman & Elkins, 1994).
Di Selandia Baru, VandenBerg (1971) menemukan bahwa dari semua siswa SLB bagi tunarungu yang berusia hingga 14 tahun, tidak ada yang mencapai usia baca di atas 11 tahun.
Data di atas tampak menunjukkan bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan dalam membaca dan bahwa mereka semakin tertinggal oleh sebayanya yang dapat mendengar di kelas-kelas yang lebih tinggi di mana materi bacaan yang harus dibacanya semakin kompleks. Akan tetapi, Moores (1987) mengemukakan penjelasan lain untuk hasil penelitian tersebut. Sebagian besar penelitian itu dilakukan secara cross‑sectional, tidak mengikuti kemajuan siswa yang sama dan mengetesnya setiap tahun, sehingga mungkin bahwa tingkat kecacatan yang berbeda pada tahun yang berbeda akan mempengaruhi hasil tes itu, dan bahwa pemindahan siswa yang berkemampuan lebih tinggi ke sekolah reguler menyebabkan siswa ini tidak tercakup dalam survey sehingga hasil tes pada usia yang lebih tinggi skor rata-ratanya menurun.
Satu penelitian oleh Allen (1986) mengatasi persoalan ini dengan melihat data dari hasil Stanford Achievement Test terhadap populasi tunarungu (kategori Hearing‑Impaired) pada tahun 1974 dan 1983. Skor tersedia dari usia 8 hingga 18 tahun, dan dia menemukan bahwa dari tahun 1974 hingga 1983 skor membaca sampel tunarungu itu meningkat setiap tahun.
Walker dan Rickards (1992) di Victoria, Australia, juga telah memperoleh data yang menunjukkan bahwa anak tunarungu tertentu lebih baik hasilnya pada tes baku prestasi membaca daripada yang dilaporkan sebelumnya.
Terus meningkatnya skor tes membaca anak tunarungu ini mungkin disebabkan oleh metode pengajaran membaca yang lebih baik. Argumen ini didukung oleh Ewoldt (1981) yang menemukan bahwa proses yang dipergunakan oleh anak tunarungu dalam membaca sama dengan yang dipergunakan oleh anak yang dapat mendengar, dan bahwa bila membaca mereka ditelaah menggunakan teknik yang tepat, ternyata mereka dapat lebih banyak memahami apa yang dibacanya.

2. Bahasa tulis

• Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis (runtutan kata dalam kalimat) bahasa tertulis anak tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase contoh :
• ayam hitam saya
• ayam hitam
• ayam saya
• rumah besar itu
• rumah besar putih itu
• rumah besar di atas puncak gunung itu
yang sama secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk, dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12 tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana, tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks, kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi. Akan tetapi, belum ada laporan hasil penelitian tentang tingkat keterbacaan tulisan anak tunarungu, tetapi jika penyimpangan-penyimpangan dalam sintaksis diabaikan, bahasa tulis kebanyakan anak tunarungu dapat dimengerti dengan mudah, sehingga penggunaan bahasa tulisnya (yang sering mereka pergunakan untuk berinteraksi dengan orang yang dapat mendengar) biasanya dapat memungkinkan mereka berfungsi dengan cukup baik dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu juga diketahui bahwa terdapat sejumlah orang tunarungu, termasuk yang ketunarunguannya berat sekali, yang dapat mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis yang normal.

3. Ujaran (Speech)

Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak tunarungu pada berbagai tingkatan ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran individu tunarungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sama sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik.
Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers (1942), yang menganalisis ujaran 192 anak tunarungu berat dan berat sekali. Mereka menemukan bahwa kekurarngan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal ritme dan pemengalan frasa, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan tidak dapat menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan artikulasi vokal biasanya lebih sering daripada konsonan). Hudgins dan Numbers menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tunarungu itu lebih banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frasa daripada karena kesalahan artikulasi.

Terdapat tiga cara utama individu tunarungu mengakses bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa pendengaran yang fungsional), dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

a. Mengakses Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Hanya sekitar 50% bunyi ujaran bahasa Inggris dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "hilang" itu. Jadi orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).

b. Mengakses Bahasa Melalui Pendengaran

Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali oleh tunarungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

c. Mengakses Bahasa Melalui Isyarat Tangan

Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tunarungu menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode oral/aural.

B. Bahasa dan Kognisi

Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam perkembangan kognitif dan/atau perbedaan dalam struktur kognitif (berpikir) individu tunarungu; ini mungkin karena dampaknya terhadap perkembangan bahasa. Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak mampu bernalar. Pada zaman modern argumen ini mulai dengan munculnya gerakan pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I. Dalam tes kelompok yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya menemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an. Akan tetapi, kemudian disadari bahwa meskipun skor tes yang rendah itu dapat mencerminkan adanya defisit bahasa pada individu tunarungu dan akibatnya sering berkurang pula pengetahuannya tentang hal-hal yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya bila masalah bahasanya dapat diatasi. Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes verbalnya sekitar 60, yang mencerminkan defisit bahasa testee, tetapi skor rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik dalam mean-nya maupun distribusinya, bila subyek tunarungu itu tidak menyandang ketunaan lain. Akan tetapi, kini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987). Akibatnya, secara kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.
Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa bahasa. Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966). Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir secara normal, karena bila dia mengontrol pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar tugas kognitif, ditemukannya bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu. Jika perbedaan itu muncul, dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa. Furth dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif lainnya.